Monday, July 7, 2008

Kepemimpinan Politik Yang Negarawan


Akbar Tandjung
Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode 1999-2004.

What the statesman is most anxious to produce is a certain moral character in his fellow citizens, namely a disposition to virtue and the performance of virtuous actions. - Aristoteles -


Di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, kita membutuhkan kehadiran para pemimpin, baik pemimpin formal kenegaraan maupun informal. Pemimpin merupakan pemandu, sekaligus panutan bagi yang dipimpin. Ketiadaan pemimpin membuat masyarakat menjadi kacau, berseteru satu sama lain. Kehadiran mereka amat diperlukan, untuk mempersatukan dan mengelola berbagai potensi konflik yang ada, dalam bingkai kebersamaan sehinga menjadi suatu kekuatan yang diperhitungkan. Karenanya, disadari, betapa tidak mudanya menjadi pemimpin. Tidak sembarang orang dapat tampil menjadi pemimpin, kecuali melalui serangkaian ujian kepemimpinan, dari yang sederhana hingga yang rumit. Pemimpin elite yang telah teruji di tengah-tengah komunitasnya.

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di era reformasi ini, semakin terasa sekali dibutuhkan hadirnya pemimpin-pemimpin yang mumpuni di bidangnya masing-masing, serta memiliki komitmen dan wawasan kebangsaan yang tinggi. Hal yang sama juga kita butuhkan dalam bidang politik. Pada saat ini kita berada di dalam era politik yang demokratis, dimana sistem politik ketatanegaraan, sistem pemilu, dan sistem kepartaiannya, sudah amat berbeda secara mendasar dibandingkan dengan era Orde Baru. Hal tersebut dimungkinkan karena, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami amandemen hingga tahap ke-4 pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2002.

Apabila kita cermati sistem kepartaian kita yang multipartai (banyak partai), maka terbuka peluang bagi hadirnya elite-elite (pemimpin) politik melalui partainya masing-masing. Lembaga partai politik sengaja dirancang untuk mengoptimalkan fungsi-fungsinya, antara lain sebagai sarana agregasi politik, sirkulasi elite dan perkaderan politik, manajemen konflik, serta sosialisasi dan komunikasi politik. Elite-elite politik yang ditempa oleh lembaga partai politik diharapkan dapat tampil sebagai pemimpin-pemimpin yang tangguh dan penuh wibawa, tidak saja di mata konstituennya, tetapi juga segenap spektrum masyarakat dan bangsa.

Namun demikian, seiring dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membukakan pintu bagi hadirnya calon perseorangan di dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di seluruh Indonesia, dan hal tersebut menjadi preseden bagi diperbolehkannya calon perseorangan di dalam pemilihan presiden (pilpres), maka sumber-sumber kepemimpinan politik tidak lagi berasal dari partai-partai politik semata. Meskipun aturan dan tata cara pencalonan perseorangan belum diketahui perinciannya secara pasti, namun dibukanya calon perseorangan dalam demokrasi elektoral di Indonesia, dipastikan akan menambah situasi politik menjadi kian dinamis. Partai-partai politik, dalam konteks ini, mau tidak mau harus bekerja ekstra-keras untuk membangun kelembagaannya.

Tulisan ini akan membahas topik “Pemimpin Politik yang Negarawan�?. Sebelum membahas lebih jauh mengenai hal tersebut, maka akan dibahas terlebih dahulu tentang: (1) hakikat kepemimpinan; (2) hakikat kepemimpinan politik; (3) kepemimpinan politik yang negarawan (statesman); (4) refleksi kepemimpinan politik yang negarawan: belajar dari para Bapak Bangsa dan pemimpin terdahulu.

Hakikat Kepemimpinan
Apakah pemimpin (leader) itu? Dari berbagai literatur yang ada, dapat dicatat bahwa pemimpin adalah sosok yang, dengan segenap potensi dan kewenangan yang ada, mampu mampu memotivasi, mengarahkan, dan menggerakkan orang lain untuk secara sadar dan sukarela berpartisipasi di dalam mencapai tujuan organisasi. Sedangkan kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam memimpin organisasi. Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang guna mempengaruhi, memotivasi, dan mengaktivasi aneka potensi dan sumber daya yang ada, sehingga organisasi yang dipimpinnya mampu berjalan secara efektif dalam rangka mengupayakan perwujudan tujuan-tujuannya (leadership is the ability of an individual to influence, motivate, and enable others to contribute toward the effectiveness and success of the organizations of which they are members). Organisasi yang dimaksud adalah organisasi yang teknis penyelenggaraannya sederhana hingga yang amat kompleks.

Secara teoritis terdapat dua pandangan mengenai pemimpin dan kepemimpinan: darimana ia berasal. Pertama, teori genetik (genetic theory), yang menyebut bahwa pemimpin dan kepemimpinan ditentukan oleh faktor genetik (turunan). Kedua, teori yang mencatat pentingnya karakter/kepribadian (traits theory). Ketiga, teori pengaruh lingkungan (behavioral theory). Benarkah pemimpin dan kepemimpinan semata ditentukan oleh faktor genetik? Tidak sepenuhnya benar. Faktor genetik memang perlu sekali, tetapi yang terpenting adalah bagaimana karakter kepemimpinan dapat hadir dalam sosok indvidu seorang pemimpin. Selain itu, kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan seseorang juga ditentukan oleh seberapa besar pengalaman dan persentuhannya dengan lingkungan (sosial). Oleh sebab itulah, harus dipahami bahwa setiap individu memiliki potensi kepemimpinan, yang apabila diasah dan dikembangkan, maka ia akan tampil sebagai sosok pemimpin yang mumpuni di bidangnya.

Apa saja hal-hal yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin? Setiap pemimpin harus memiliki karakter dasar dan basic values kepemimpinan. Dalam perspektif agama Islam, disebutkan adanya empat sifat/karakter yang harus dimiliki seorang pemimpin, sebagaimana dimiliki oleh Rasulullah Muhammad SAW yakni sidiq (benar, jujur), amanah (terpercaya), tabligh (komunikator), dan fathanah (cerdas).

Sifat-sifat tersebut, selaras dengan prinsip-prinsip kepemimpinan modern, di mana setiap pemimpin harus, memiliki visi, di mana seorang pemimpin adalah manusia pembelajar, memiliki ide-ide besar yang visioner dan menjadi referensi utama bagi yang dipimpin. Seorang pemimpin juga harus memiliki kemampuan (ability) dan kapasitas (capacity), antara lain: keahlian/kecakapan (skill) dalam berkomunikasi, memotivasi, dan yang lainnya; pengetahuan/wawasan (knowledge); pengalaman (experience); kemampuan mengembangkan pengaruh (influence); kemampuan menggalang solidaritas (Solidarity maker); serta kemampuan memecahkan masalah (decision making).

Seorang pemimpin juga harus memiliki integritas (integrity), yakni memiliki kepribadian yang utuh/berwibawa (kharisma); bijaksana (wisdom); bersikap empatik; memiliki prinsip-prinsip yang utama dalam hidupnya; menjadi panutan (kelompok referensi utama); serta, mampu mengutamakan kepentingan lebih besar, ketimbang kepentingan kecil dan sempit (negarawan). Di atas semua itu, seorang pemimpin total dalam mengerahkan segenap potensi yang ada pada dirinya untuk kemajuan organisasi (prinsip totality).

Dalam konteks model kepemimpinan, dikenal dua model, yakni, pertama, model kepemimpinan transformasional, yakni kepemimpinan yang mampu membawa organisasi kepada perubahan-perubahan dalam visi, strategi, dan budaya organisasi (kepemimpinan yang dinamis dan produktif). Kedua, kepemimpinan transaksional, yang cenderung mempertahankan kestabilan dan status quo dalam organisasi, ketimbang mempromosikan perubahan (kepemimpinan yang statis).

Hakikat Kepemimpinan Politik
Sebelum membahas hakikat kepemimpinan politik, maka perlu dipahami terlebih dahulu hakikat politik dan hakikat individu berpolitik. Politik terkait dengan upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan (power). Politik dan kekuasaan adalah tujuan-antara (cara), bukan tujuan utama itu sendiri. Idealnya, kekuasaan harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kekuasaan tidak boleh dipakai untuk kepentingan diri-sendiri. Namun demikian, kita juga harus catat aksioma Lord Acton yang menegaskan bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan, kekuasaan yang mutlak pasti disalahgunakan (power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely). Kita juga mencatat, adanya kecenderungan manusia untuk, sebagaimana disinyalir Machiavelli, menghalalkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Karena politik memiliki tujuan-tujuan mulia, yakni untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyat, maka insan-insan yang menjadi politisi haruslah didasari oleh suatu keterpanggilan. Jadi, politisi hadir karena keterpanggilan (bukan profesi), sehingga politik-kekuasaan dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan kemakmuran/ kesejahteraan rakyat dan tujuan-tujuan bangsa lainnya. Karenanya dapat dipahami, bahwa yang terpanggil untuk berkiprah di bidang politik justru berasal dari beragam profesi (dokter, pengacara, pengusaha, konsultan, dosen/intelektual, dan sebagainya).

Karena politik merupakan panggilan dan memiliki tujuan mulia, maka konsekuensinya, setiap politisi harus memiliki visi politik yang kuat serta komitmen yang tinggi atas prinsip-prinsip politik yang dianutnya; mampu memanfaatkan sumber daya politik yang ada secara optimal; bertindak berdasarkan kalkulasi politik yang rasional dan logis; serta mampu menghadirkan kebijakan-kebijakan politik yang produktif (bukan kontraproduktif).

Seorang politisi, juga dituntut untuk mampu mempertahankan konstituen politik dengan baik, bahkan mampu memunculkan dukungan-dukungan politik yang signifikan; mampu mengelola potensi konflik yang ada dengan baik dan efektif; mampu memotivasi anak-buah dan konstituennya dengan baik, sehingga senantiasa optimis dan mampu bangkit dari keterpurukan. Di samping itu, ia juga dituntut untuk mampu bersosialisasi dan berkomunikasi dengan segmen manapun; mampu memberi contoh dan mendorong suatu proses pendidikan dan pencerahan politik; mampu menghadirkan proses sirkulasi elite di dalam organisasi secara sehat; dan mampu mendudukkan orang-orangnya di posisi-posisi strategis di lembaga-lembaga politik kenegaraan yang ada.

Itulah, setidaknya gambaran ideal kepemimpinan politik. Di dalam iklim yang demokratis, tentu kepemimpinan politik juga harus selaras dengan nilai-nilai demokrasi yang substansial. Seorang pemimpin politik harus paham benar etika politik, sehingga proses dan dinamika politik berjalan secara beradab.Â

Hakikat Kepemimpinan Politik yang Negarawan
Istilah negarawan (statesman) merupakan istilah yang cukup populer. Secara ensiklopedis seorang negarawan biasanya merujuk pada seorang politisi atau tokoh yang berprestasi (berjasa) satu negara yang telah cukup lama berkiprah dan berkarir di kancah politik nasional dan internasional (a statesman is usually a politician or other notable figure of state who has had a long and respected career in politics at national and international level). Tokoh yang berjasa (worthy) pada bangsa/negara tentu merupakan tokoh yang mengabdikan pikiran dan tenaganya bagi kemajuan dan kemakmuran bangsanya.

Kepemimpinan politik yang negarawan tentu saja amat terkait dengan komitmen kebangsaan dan kenegaraan. Penjelasan yang amat umum dijumpai di sini, terkait dengan kenegarawanan adalah, bahwa sikap tersebutlah yang menuntut para politisi dan untuk meminimalisasikan kepentingan pribadi dan kelompok, dan sebaliknya memaksimalisasikan kepentingan bangsa/negara yang lebih besar.

Negarawan adalah orang yang berjasa dan berkorban demi bangsa dan negaranya, tidak memandang apa latar-belakang politiknya. Idealnya, ketika kader partai, kemudian terpilih menjadi pejabat negara, maka berlakulah adagium “ketika tugas negara dimulai, maka kepentingan politik berakhir�?. Artinya, seorang pejabat negara harus berkonsentrasi untuk “mengurus negara�? dengan benar, walaupun tanpa harus menghapuskan identitas latar-belakang politiknya sama sekali. Karena, identitas politik seorang politisi (negarawan) senantiasa melekat padanya. Yang penting, seorang pemimpin politik yang negarawan adalah yang paham betul skala prioritas: mana yang lebih didahulukan (kepentingan bangsa/negara lebih luas) dan yang tidak.

Sebagaiman dikutip dari Filosof Aristoteles di awal tulisan ini, bahwa seorang negarawan memiliki karakter moral yang pasti, di mana para pengikutnya dapat meneladaninya dengan sepenuh hati. Seorang negarawan adalah yang memiliki watak yang baik dan senantiasa menjaga citra dirinya dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Bercermin dari Kenegarawanan Para Pemimpin Terdahulu
Sejak kemerdekaan dan sepanjang pengelolaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dilakukan, maka sesungguhnya telah banyak tercatat teladan-teladan pemimpin negarawan yang semestinya harus kita tiru dan amalkan. Terhadap para Bapak Bangsa (The Founding Fathers) dan segenap tokoh yang terlibat tidak langsung dalam kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, kita dapat mencatat adanya semangat mereka yang amat luar biasa di dalam mengorbankan kepentingan diri pribadi dan kelompok bagi berdirinya sebuah negara bangsa: Republik Indonesia. Para pendiri Bangsa adalah negarawan-negarawan sejati, yang satu sama lain saling berkoran dan bekerjasama demi hadirnya sebuah bangsa yang lepas dari penjajahan.

Sepanjang era pascakemerdekaan hingga kini, kita telah mencatat beberapa segi baik yang ditinggalkan para negarawan kita, bahwa seorang pemimpin (politik) yang negarawan, memiliki karakter kepemimpinan yang kuat serta komitmen kebangsaan yang tegas; sederhana dan senantiasa berupaya menjadi teladan yang baik bagi yang dimpimpin; mampu memberikan motivasi pada rakyat untuk senantiasa optimis (tidak putus asa) dan mampu memecahkan masalah; mampu mengayomi rakyat secara adil dan tidak sewenang-wenang; dan mampu mengembangkan kerjasama secara sinergis antarelemen politik (sosial) yang ada di dalam masyarakat/bangsa yang majemuk.

Sudah semestinya sifat-sifat kenegarawanan para pemimpin kita terdahulu perlu diinternalisasikan ke dalam tiap diri para pemimpin dan calon-calon pemimpin kita saat ini. Bangsa ini butuh keteladanan dan sikap-sikap kenegarawanan yang lain. Mudah-mudahan kita selalu mampu mengambil hikmah dari para pemimpin-pemimpin kita di masa lalu, dan menjadi inspirasi bagi masa depan bangsa

No comments: